Pada zaman dahulu, hiduplah seorang raja bernama Raja Wora-Wari. Sang raja memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas dibawah pemerintahan kerajaan Molowopati yang dipimpin oleh Raja Angling Darmo. Raja Wora-Wari merupakan raja yang patuh akan kebijakan Raja Angkling Darmo. Disamping itu, Raja Wora-Wari merupakan raja yang sangat dicintai rakyatnya. Hal tersebut karena kemampuannya membuat rakyatnya tentram, makmur, dan gemah ripah.
Pada masa kepemimpinan Raja Wora-Wari, datanglah seorang raja yang bengis bernama Raja Dongkol. Menurut legenda, Raja Dongkol memiliki paras buruk rupa dengan kaki yang cacat. Dengan sifat arogansinya, Raja Dongkol berusaha merebut kekuasaan Raja Wora-Wari. Tidak berhenti di situ, Raja Dongkol-pun menginginkan permaisuri Raja Wora-Wari. Segala upaya dilakukan oleh Raja Dongkol hingga berhasil menimbulkan peperangan. Dalam perang tersebut, Raja Wora-Wari akhirnya terbunuh.
Setelah peperangan, jatuhlah wilayah kekuasaan Raja Wora-Wari. Begitupula dengan sang permaisuri. Dengan sangat terpaksa, sang permaisuri harus menikah dengan Raja Dongkol. Peristiwa tersebut membuat sang permaisuri terpukul dan teramat sedih. Selain kehilangan Raja Wora-Wari, sang istripun harus berjuang karena sedang mengandung anaknya dengan Raja Wora-Wari. Untuk itu, sebelum menikahi Raja Dongkol, sang permaisuri meminta Raja Dongkol untuk menerima anak yang dikandungnya. Tanpa berpikir panjang, Raja Dongkol menuruti perintah calon istrinya.
Tahun demi tahun berlalu, anak Raja Wora-Wari tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah. Ia bernama Bondan Kejawan. Setelah mengetahui kebenaran tentang ayah kandungnya, ia berniat untuk membalaskan dendam ayahnya. Atas saran dari Raden Bagus Sujono, Bagus Alus, dan Demang yang merupakan bekas abdi dalem ayahnya, ia menyusun rencana balas dendam. Dengan rencana yang matang, Raja Dongkol berhasil terbunuh.
Seiring dengan berjalannya waktu, orang-orangyang berjasa menaklukan Raja Dongkol diberi penghargaan spesial oleh Pemerintahan Molowopati. Mereka diangkat menjadi patih Kerajaan Molowopati. Bagus Alus dan Demang meneriman tawaran tersebut. Namun, tidak dengan Raden Bagus Sujono. Ia lebih memilih untuk hidup bersama rakyat menjadi orang biasa. Raden Sujono memilih untuk mengabdi dengan menyebar kebaikan dan kebermanfaatan di sekitar tempat tinggalnya. Hingga akhir hayatnya, Raden Sujono tetap menjadi seseorang yang rendah hati. Karena jasa, keikhlasan, dan kerendahan hatinya yang teramat besar, nama Raden Sujono diabadikan menjadi nama desa. Sebuah desa tersebut diberi nama Jono atau biasa disebut N-Jono oleh orang-orang Jawa.